Artikel Interkoneksi Telekomunikasi

Minggu, 16 Desember 2007

Dipertanyakan, Perangkat yang Digunakan SKT

TENDER SKTT (sistem kliring trafik telekomunikasi) yang digelar pemerintah lewat Ditjen Postel sudah final, pemenangnya sudah ditetapkan Menteri Perhubungan. Yang beruntung, PT Pratama Jaringan Nusantara, akan mengelola SKTT yang berfungsi sebagai clearing house interkoneksi antaroperator telekomunikasi seluruh Indonesia selama 10 tahun ke depan.



Tender yang menggiurkan dalam masalah keuangan yang dikelola dan dimiliki ini semula diikuti oleh 36 peminat. Tetapi ketika proses seleksi administratif gugur 28, yang akhirnya melaju ke final tinggal 7 perusahaan.



Banyaknya peminat menunjukkan bahwa bisnis clearing house merupakan bisnis yang sangat menjanjikan, dengan makin banyaknya operator telekomunikasi yang beroperasi. Saat ini sedikitnya ada 10 operator telekomunikasi yang pelanggannya tidak hanya menghubungi nomor sesama operator, tetapi juga lintas operator. SKTT akan menghitung berapa besar bagian mereka yang memanggil dan dipanggil berdasarkan CDR (call data record). Dan untuk kegiatan itu operator SKTT mendapat bagian (fee).



Jumlah telepon tetap termasuk nirkabel saat ini sudah mencapai 9 juta sambungan dan seluler 18 juta, dan mereka saling berhubungan, dapat diperkirakan berapa puluh miliar bahkan ratus miliar yang diraih SKTT. Pemerintah sendiri sebagai "yang paling berhak" menjalankan SKTT merasa tidak mampu menyediakan dana awal, sehingga mengundang swasta untuk menyelenggarakannya atas nama pemerintah. Ini sesuai keputusan Menteri Perhubungan Nomor 84 Tahun 2002 yang membuka kemungkinan pihak ketiga untuk menyelenggarakan SKTT.



Yang menjadi masalah adalah, sejak awal tender yang diminati banyak investor ini menebarkan bau kurang sedap, sebab terkesan kuat sudah diatur siapa pemenangnya. Tender akhirnya hanya semacam legalitas agar tidak menimbulkan keresahan.



Sebelum keputusan menteri (KM) itu keluar, investor yang berminat menjalankan SKTT sudah banyak. Di antaranya sudah melakukan persiapan sangat detail, bekerja sama dengan pemilik perangkat lunak clearing house dari mancanegara.



Satrio, seorang peserta tender yang tadinya sangat berharap SKTT tidak ditenderkan mengungkapkan bahwa pihaknya pernah diminta seorang petinggi Departemen Perhubungan bergabung dengan perusahaan lain untuk menjalankan SKTT. Karena pembicaraan bisnis tidak imbang, ia menolak bergabung meski sudah diyakinkan bahwa calon pengelola SKTT adalah perusahaan tadi. Ternyata benar, perusahaan itulah yang akhirnya memenangkan tender.



Gatot Kahrmadji, Direktur PT Sumo Komunikasi dan Elektronika mengaku kecewa dengan keputusan panitia tender yang dianggapnya tidak transparan. Dalam suratnya ke Menteri Perhubungan 19 Februari, sehari setelah pemenang ditetapkan, ia mengungkapkan kecurigaannya yang sebenarnya muncul sejak awal, bahwa tender tidak terbuka.



Ia mengeluh, meski ada BRTI dan konsultan, tender tetap terkesan tertutup karena tidak ada evaluasi terbuka untuk memilih yang terbaik. Ia meminta menteri memaparkan hasil evaluasi yang menunjukkan kriteria apple to apple dengan terbuka sehingga dapat diperdebatkan dan dipertanggungjawabkan secara teknis.



Apa yang diungkapkan oleh Gatot ini juga dikeluhkan oleh semua peserta tender yang merasa dipecundangi, sebab hitungan-hitungan teknis, perangkat lunak pendukung, tidak dipertimbangkan secara terbuka. Namun Dirjen Postel Djamhari Sirat menjamin bahwa apa yang diputuskan sudah sangat transparan, apalagi tim penilai tidak mengetahui sama sekali perusahaan yang dinilai karena tidak ada namanya kecuali kode-kode.



Menteri Perhubungan Agum Gumelar bahkan menekankan, apa yang diputuskannya semata-mata merupakan usulan bawahannya yang melaksanakan pilihan, tidak ada nama yang sudah disiapkan. "Saya sangat mempercayai bawahan saya yang bekerja secara profesional," katanya kepada wartawan pekan lalu, sebelum hasil tender diumumkan.



Beberapa operator telekomunikasi justru mengkhawatirkan pelaksanaan SKTT, bukan karena siapa pemenangnya, tetapi perangkatnya. Perangkat lunak apa yang akan digunakan untuk menjalankan SKTT juga mereka pertanyakan, karena akan sangat mempengaruhi kinerjanya.



Para operator justru ingin mengembangkan SOKI (sistem otomatisasi kliring interkoneksi) yang berhasil dibangun semua operator dan sudah berjalan sedikitnya setahun. "Baikan kami pakai SOKI yang jelas sudah bisa terlaksana dan murah tanpa melibatkan pihak lain, karena CDR merupakan rahasia masing-masing," kata seorang petinggi operator.



SOKI menghitung biaya per CDR hanya Rp 0,42 (42 sen), sementara mayoritas peserta tender menghitung sekitar Rp 2 per CDR, tetapi pemenang tender menghitung di atas Rp 5 per CDR. Djamhari memiliki jawaban, angka rendah belum tentu menang, sebab akan dihitung lagi apakah angka itu wajar dan membuat penyelenggara SKTT mampu bertahan.



Namun yang membuat operator khawatir adalah perangkat lunak yang digunakan, yang di Indonesia sendiri sudah terbukti tidak bisa digunakan. Perangkat lunak Intech sudah dibeli setahun lalu oleh PT Telkomsel, namun hingga kini belum berhasil digunakan karena berbagai kendala, utamanya dalam kemampuan.



Menurut GM Interkoneksi dan Roaming Internasional PT Telkomsel, Achmad Santosa, mereka belum juga berhasil menggunakan Intech karena performansinya jauh di bawah harapan, lebih rendah dari yang mereka gunakan saat ini.



"Akhirnya kami kembali menggunakan perangkat lunak yang sudah ada tetapi mencoba negosiasi dengan Intech karena tidak sesuai dengan promosi mereka," katanya. (HW)


Artikel ini diambil dari website x-phones.com