Artikel Interkoneksi Telekomunikasi

Minggu, 16 Desember 2007

Menyoal Interkoneksi Berbasis Biaya

* Abdul Salam Taba


Rencana implementasi interkoneksi berbasis biaya telah melahirkan beragam opini. Intinya, yang satu beranggapan pengaturan interkoneksi harus berbasis biaya, yang lain menginginkan pelaksanaannya tetap seperti sedia kala.


Intekoneksi wajib dilaksanakan oleh setiap operator, sebagaimana diatur dalam pasal 25 UU No.36/1999. Kewajiban tersebut diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.52/2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi. Dengan berbagai pertimbangan yang ada, dapat sebenarnya dapat dipahami bila pemerintah (termasuk Indonesia) mewajibkan interkoneksi dengan pola beragam yakni (1) Forward looking incremental cost (FLIC), tarif ditetapkan berdasarkan bbesarnya biaya pengadaan fasilitas dan layanan interkoneksi; (2) Historical accounting cost (HAC), pungutan tarif mengacu pada rekaman data accounting dari operator yang menyediakan layanan interkoneksi; (3) Sender keep all (SKA), pembayaran tarif tidak bergantung pada transaksi interkoneksi yang terjadi dibayar berdasarkan konsep bagi hasil antara pemain baru dengan incumbent; (4) Interconnection charges based on retail prices , tarif yang dipungut berdasarkan bersarnya yang dibebankan kepada end user.


Pola format tarif interkoneksi ideal menurut hemat saya adalah tarif berbasis biaya ( cost-oriented ). Pasalnya, pola tarif tersebut tidah hanya berfungsi mencegah operator dominan ( established monoplist ) menetapkan tarif tinggi dan membayar tarif lebih rendah kepada operator lain, tetapi juga berpotensi mewujudkan struktur pasar yang bersifat kompetisi penuh ( perfect competition ) dalam penyelenggaraan telekomunikasi.


FLIC merupakan pola yang banyak dipraktekkan di berbagai negara seperti Australia, Hongkong, Kanada, Chile, dan Amerika Serikat. Pasalnya, pola tarif tersebut tidak hanya dianggap relevan dengan konsep tarif berbasis biaya, tetapi juga dinilai dapat mengurangi hambatan yang bersifat teknis maupun ekonomis bagi masuknya kompetitor baru ke dalam pasar telekomunikasi.


Dalam konteks Indonesia, penyelenggaraan interkoneksi dilakukan berdasarkan sistem otomatisasi kliring interkoneksi (SOKI) yang dikembangkan para operator dengan pola perhitungan berdasarkan konsep bagi hasil. Namun berbagai kalangan menilai penyelenggaraan interkoneksi yang berbasis SOKI ini dinilai tidak efektif dan cenderung menimbulkan konflik antar-operator. Misalnya deviasi perhitungan CDR ( call data record ) tidak efisien dan bersifat duskriminatif.


Dalam pandangan ekonomis, kemampuan menggiring penyelenggara jasa maupun jaringan lain tersebut, karenakan penyelenggara jaringan dominan memiliki market power mendikte para pelaku pasar. Konsekuensinya, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, penyelenggara lain harus rela mengikuti besaran tarif yang ditetapkan penyelenggara jaringan dominan, alias menjadi price follower dan bukan pprice taker dalam penyelenggaraan interkoneksi. Dengan karakteristik ini, tak heran bila penyelenggaraan interkoneksi dengan SOKI yang berpola bagi hasil, dianggap dapat menghambat kompetisi dan perkembangan industri telekomunikasi. Hal inilah mungkin yang membuat regulator (dalam hal ini Departemen Komunikasi dan Informatika cq. Ditjen Postel) berupaya serius menetapkan kebijakan interkoneksi berbasis biaya.


Bila dicermati, interkoneksi berbasis biaya perlu segera diterapkan untuk mendorong investor baru (termasuk operator eksisting) untuk berinvestasi dalam pembangunan jaringan dan pertumbuhan panggilan, khsusnya panggilan jarak jauh, Karena interkoneksi berbasis biaya memungkinkan operator mengetahui besaran tarif pungut yang sebenarnya dan menghindarkan praktek subsidi silang yang terjadi selama ini, termasuk sebaran layanan multimedia secara merata.


Secara faktual, kondisi eksisting menunjukkan beberapa penyelenggara di daerah (seperti Batam, Balik Papan dan Palembang) kesulitan bahkan tidak dapat terhubung dengan jaringan lain yang dikarenakan harga transit dan sirkit sewa tidak kompetitif, alias ditetapkan di atas biaya yang sebenarnya. Dalam konteks demikian, penerapan interkoneksi berbasis biaya mendapatkan relevansinya.


Pasalnya, perhitungan tarif interkoneksi berbasis biaya model jaringan eksisting yang diefisienkan –biaya interkoneksi dihitung berdasarkan biaya yang relevan dan bersifat incremental atas penyelenggaraan layanan interkoneksi—dan dievaluasi secara bertahap sejalan dengan perkembangan tingkat efisiensi yang dicapai. Logika dibalik pola tersebut ialah karena jaringan yang dibangun digunakan untuk layanan intekoneksi dan layan jasa-jasa lainnya, sehingga sejatinya biaya interkoneksi berdasarkan biaya yang terkait saja.


Singkatnya, kebijakan interkoneksi bebasis biaya dimaksudkan untuk melindungan kepentingan para pengguna (users), meningkatkan efisiensi industri dan kelanjutan investasi di sektor telekomunikasi, Dengan kata lain, pengaturan interkoneksi berbasis biaya bertujuan untuk menjamin pertumbuhan akses layanan secara berkelanjutan dan dan untuk memastikan bahwa pasarlah yang menjadi penentu besaran tarif dalam berinterkoneksi interkoneksi.


* Alumus School of Economics, the University of Newcastle, Australia


Published by Majalah Selular, edisi November 2005.


Artikel ini diambil dari website alumni.adsjakarta.or.id