Artikel Interkoneksi Telekomunikasi

Minggu, 16 Desember 2007

Operator Sudah Membentuk SOKI

MASALAH besar dalam bisnis telekomunikasi dengan operator yang banyak adalah soal interkoneksi, ketersambungan. Percuma membangun satu jaringan telekomunikasi yang melayani satu komunitas kalau tidak memiliki kemampuan ketersambungan dengan jaringan yang dibangun oleh operator lain.


Interkoneksi menjadi rumit ketika operator makin banyak, seperti Telkom, BBT (Batam Bintan Telecommunication), Bakrie, Indosat, dan sembilan operator seluler. Setiap operator memiliki ukuran sendiri sehingga sering terjadi dispute, perselisihan karena bedanya data yang dimiliki tiap operator yang pelanggannya saling berhubungan.


Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 52 Tahun 2000 mewajibkan setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi menyelenggarakan interkoneksi antaroperator. Artinya, kewajiban itu merupakan eksternalitas jaringan yang menjamin pelanggan dapat menghubungi dan dihubungi oleh pelanggan lain walau keduanya berbeda layanan operatornya.


Kerumitan hubungan antaroperator itu kemudian ditengahi dengan cara perhitungan (settlement) setelah lebih dulu dilakukan penagihan (billing) secara bilateral antardua operator jaringan. Proses settlement ini dilakukan setelah penyelenggara tujuan panggilan (yang memiliki hak tagih) menagih penyelenggara asal panggilan dan dilakukan pencocokan.


Di dunia telekomunikasi dan perbankan ada yang namanya clearing house (CH) yang mengatur settlement dan billing dan menjadi penengah antaroperator yang berhubungan. Di Indonesia belum ada lembaga semacam itu, dan selama ini ditengahi oleh regulator (pemerintah) namun perbedaan data yang tajam sering terjadi.


Pemerintah lewat Keputusan Menteri Perhubungan (Kepmenhub) No 84/2002 membuka kesempatan pihak ketiga menyelenggarakan KTT (kliring, trafik, telekomunikasi) atas nama Dirjen Postel (Pasal 6). Operator jaringan atau jasa telekomunikasi dikenai biaya kompensasi untuk menjamin kesinambungan penyelenggaraan KTT tadi (Pasal 4(4)).


Keputusan menteri ini menimbulkan kegelisahan di antara para operator, karena selain soal biaya yang pasti tinggi, juga ada kewajiban menyerahkan CDR (call data record/catatan panggilan) kepada pihak lain, penyelenggara KTT. Pemerintah, dengan membentuk KTT oleh pihak ketiga berharap dapat menerima sejumlah uang untuk membiayai penyelenggaraan BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia) yang belum tahu sumber dananya dari mana. Menurut kabar, dari setiap proses interkoneksi, penyelenggara akan memungut biaya kompensasi sebesar Rp 12, yang pasti akan dibebankan ke pelanggan.


Di kalangan operator telekomunikasi ada upaya rekonsiliasi dalam masalah ini, dan mereka sepakat untuk membuat perangkat (tools) yang merupakan satu sistem otomatisasi kliring interkoneksi (SOKI). Sistem ini, karena dibangun bersama- sama menjadi sangat efisien dan nirlaba sehingga lebih murah biayanya. "Cuma Rp 0,42 (42 sen) untuk setiap pemrosesan data interkoneksi," ujar Wakil Presiden Tarif dan Interkoneksi PT Telkom, Sarwoto. Untuk mengembangkan dan mengelola SOKI, para operator jaringan yang berlisensi (licensed network operators) sepakat mendirikan Askitel (Asosiasi Kliring Interkoneksi Telekomunikasi). Ini wujud kerja sama sambil bersaing (coopetition) yang mau tak mau harus dijalin oleh semua operator.


Dalam Askitel ini ada dewan pengawas yang anggota seorang dari tiap operator, sementara operasi sehari-hari dilakukan oleh pengurus yang terdiri dari seorang ketua dan satu sekretaris dibantu para deputi bidang. Askitel ini terbuka bagi semua operator, termasuk pendatang baru sepanjang telah berlisensi dan sudah beroperasi.


Askitel dapat membentuk panel penyelesaian alternatif (ADR/alternative dispute resolution) secara ad hoc yang khusus menangani sengketa atau kontroversi di antara para operator dalam pelaksanaan interkoneksi antarmereka. SOKI dalam pengembangannya akan dilengkapi modul yang akan mengakomodasi pelaporan melalui BRTI sehingga regulator dapat memanfaatkan SOKI dalam mengatur industri telekomunikasi, khususnya industri interkoneksi.


Dengan kemampuan ini, tampaknya pemerintah tidak perlu memaksakan kehadiran pihak ketiga untuk menyelenggarakan CH seperti diamanatkan Kepmenhub No 84/2002. (HW)


Artikel ini diambil dari website kompas.com