Artikel Interkoneksi Telekomunikasi

Minggu, 16 Desember 2007

Tarik Ulur tak Kunjung Usai. Penerapan sistem kliring telekomunikasi masih terkatung-katung

Setelah dua tahun disiapkan, sistem kliring trafik komunikasi belum juga beroperasi. Operator besar ingin ikut jadi mengelola. Tapi, terbentur oleh perjanjian pemerintah dengan perusahaan swasta.


Johnny Sanggam Edison barangkali mempunyai usus cukup panjang. Setahun ini Direktur PT Pratama Jaringan Nusantara (PJN) sabar menghabiskan banyak waktu untuk menunggu. Padahal, sejak ditunjuk untuk mengerjakan proyek mengelola sistem kliring trafik telekomunikasi (SKTT) dua tahun silam, PJN telah menyediakan perlengkapan yang diharapkan tahun lalu sudah bisa diuji kelaikannya. Tapi, hingga kini, peralatan itu belum bisa berfungsi normal. Soalnya, beberapa data yang harusnya disetor operator seluler masih banyak bolongnya.


Tentu saja, hitung-hitungan bisnis yang dibuat PJN hampir semuanya meleset. Soalnya, untuk mendatangkan mesin dan sistem yang bakal dipakai untuk mencatat lalu lintas interkoneksi dan menghitung pembagian pendapatan antaroperator, investasi yang dia tanam mencapai ratusan miliar. Dua tahun lalu, PJN telah meneken kontrak dengan Intec Telecom Systems yang bakal menangani peranti lunak dan berbagai perangkat penunjang proyek ini. Untuk pendanaannya, beberapa bank asing telah mengucurkan pinjaman.


Tapi, setelah dua tahun tak ada perkembangan, bukan cuma PJN yang jadi dongkol. Para kreditur juga sudah mulai gerah. Menurut Johnny, beberapa kali kreditur menanyakan nasib duit yang telah dikucurkan. ”Mereka khawatir, jika ini terus berlarut-larut, nasib investasi mereka jadi tak jelas,” kata Johnny. Tapi, PJN tak bisa berbuat apa-apa. Maklum, statusnya hanyalah sebagai kontraktor pemerintah. Pihak PJN memang sudah siap bekerja, tapi kalau ordernya tidak ada, kan susah juga. ”Para kreditur itu akhirnya mendatangi pemerintah untuk minta kepastian,” tambahnya.


Masalah duit yang telanjur ditanam memang bukan perkara mudah. Tapi, hal lain yang tak kalah rumit adalah mendesak operator untuk mengikuti peraturan. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 31/2003 sudah mengamanatkan supaya data trafik tiap operator diserahkan kepada pemerintah yang diwakili Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI). Sejauh ini, sebagian besar operator sudah menyerahkan datanya. ”Ada satu operator besar yang masih belum lengkap memberikan datanya,” kata Johnny.


Beberapa operator besar seperti Telkom boleh dibilang setengah hati menyerahkan data trafiknya. Menurut Ketua Askitel (Asosiasi Kliring Interkoneksi Telekomunikasi) Sarwoto Atmosutarno, keengganan operator untuk menyerahkan seluruh data trafik bukan lantaran mau mbalelo. ”Status data itu kan rahasia. Jadi, operator harus yakin bahwa data itu bisa aman dan tidak bocor ke luar,” ungkapnya. Makanya, sementara belum ada jaminan data itu sampai ke tangan yang tepat, operator memilih menahan dokumen mereka dulu.


Operator ingin mempunyai peran lebih besar


Tak cuma itu, belum kelarnya perjanjian interkoneksi antaroperator juga membuat aturan main SKTT ini dianggap belum jelas benar. Maklum, untuk mengubah sistem yang sekarang ini ada dan beralih ke SKTT bukan hal yang mudah. ”Perlu ada konfigurasi teknis yang berimplikasi tak sedikit ke operator,” ungkap Sarwoto yang juga Wakil Presiden Tarif dan Interkoneksi PT Telkom. Pasalnya, sistem yang baru pasti akan menyedot sumber data primer yang dimiliki operator. Padahal, ”Kita diikat oleh perjanjian konfidensial antaroperator,” tambahnya.


Sarwoto menganggap SK Menhub untuk operasional SKTT itu tidak cukup dijadikan dasar. Basis pijakannya kurang kuat. Ia khawatir, jika tidak dari awal dilandasi dasar hukum yang setingkat peraturan pemerintah (PP) atau undang-undang (UU), belakangan bisa jadi masalah. ”Ini menyangkut aturan main dalam industri skala besar. Dasar hukumnya mesti dikaji ulang,” tutur Sarwoto.


Belum lagi masalah mengganjal lain seperti tarif yang bakal dibebankan ke operator. ”Dengan sistem sekarang, Telkom cuma bayar Rp 5 miliar per tahun. Kalau dengan SKTT, biayanya jadi sekitar Rp 58 miliar,” hitung Sarwoto lagi. Wajar saja, kalau operator keberatan. Siapa, sih, yang mau dibebani ongkos lebih besar?


PJN sendiri menampik satu per satu keberatan itu. Menurut Johnny, sampai saat ini patokan tarif untuk tiap rekaman data panggilan (call data record, CDR) belum dibicarakan. Memang, saat pengajuan tender dulu, PJN mengasumsikan tarif sebesar Rp 5,9 per CDR. ”Tapi, itu kan cuma hitung-hitungan untuk kalkulasi bisnis. Semakin meningkat trafiknya, tentu angkanya akan turun,” katanya. Selain itu, tarif pasti per CDR akan ditetapkan bersama antara operator, BRTI, dan PJN.


Johnny mengaku bahwa pihaknya terikat perjanjian ketat dengan pemerintah. Salah satunya menyangkut soal kerahasiaan data. Jadi, tak mungkin ada celah permainan untuk membocorkan data ke pihak lain. Apalagi, dalam struktur SKTT ini, operator juga masuk dalam jajaran dewan pengawas. ”Mereka akan mengetahui seluk-beluk dan langkah operasi PJN,” katanya. Pihaknya sendiri juga tak mau ambil risiko dengan melakukan tindakan melanggar perjanjian. Jadi, ”Kerahasiaan data kita jamin. Ini kan juga menjadi pertaruhan bisnis kita,” sergahnya.


Naga-naganya, keengganan operator gede untuk melengkapi data trafik menyimpan maksud. Menurut Sarwoto, solusi yang tepat untuk persoalan sistem penghitungan interkoneksi adalah memberi peran lebih besar bagi operator dalam proses ini. ”Pelaksana SKTT ini biarlah dilakukan operator saja,” katanya. Ia memberi alasan, selama ini kerja sama antaroperator sudah berjalan baik. Lembaga kliring yang dikelola operator seperti sekarang, yakni SOKI atau sistem otomatisasi kliring interkoneksi, sudah berjalan bagus. ”Tinggal mengembangkan,” tambahnya.


Alternatif lain bisa saja dengan membuat konsorsium antara operator dan swasta (PJN) untuk bersama-sama menggarap kliring interkoneksi. Cuma, risikonya, perjanjian yang selama ini sudah diteken pemerintah dengan PJN bakal bubar. ”Kita, sih, mengikuti apa yang diinginkan pemerintah saja. Kalau maunya begitu, PJN akan patuh,” jelas Johnny.


Hanya, ada konsekuensi dari keputusan itu. Pemerintah tentu bisa kena penalti akibat mengingkari perjanjian. ”Tingkat kepercayaan kreditur asing juga bakal anjlok karena tak ada kepastian hukum,” tuturnya.


Yang lebih penting dari itu, kata Johnny, harusnya SKTT ini bisa menjadi penengah untuk urusan interkoneksi antaroperator. Soalnya, selama ini dominasi pemimpin pasar operator seluler terlalu besar. ”Kita ingin, dengan sistem ini praktek bisnis seluler di Indonesia bisa lebih fair,” katanya.


Tapi, bagi Sarwoto, yang penting duit dari transaksi ini bisa benar masuk ke negara. Maklum, perputaran duitnya sampai ratusan miliar per tahun. ”Lebih baik dibentuk BUMN baru untuk mengurusi soal ini,” katanya.


Artikel ini diambil dari website kontan-online.com